Nuwaiba - Amman - Gaza. Perjalanan ini begitu melelahkan. Bukan karena jauh dan bosan. Atau karena menguras seluruh keringat yang menetes melalui pori-pori, dibakar matahari musim panas. Tapi, ia muak dengan pemandangan sepanjang jalan, harus turun-naik setiap pos penjagaan tentara-tentara Israel. Surat izin jalan dan paspor adalah barang berharga untuk sampai keperbatasan kota. Kalau tidak karena rindu yang menggelegak bertemu Amru dan negeri ini, ingin ia tunda. Entah keberapa kalinya ia dan para penumpang bus ini harus turun untuk pemeriksaan.
"Turunlah cepat, semoga Allah menyertai kalian." Kata sopir bus sambil memberi isyarat.
"Hei orang Arab, apa yang kau bawa?" Tanya seorang tentara Israel tegas.
"Buku, ya aku hanya bawa buku!" Ammar menjawab pendek.
"Bawa kopermu sini!" Setengah malas Ammar mendekat. Lalu dengan kasar tentara itu membongkar koper yang disodorkannya. Mereka mencari bahan peledak dan senjata yang kadang disusupkan lewat bus-bus ketika memasuki perbatasan kota.
"Oke, semuanya kembali ke Bus! Jangan pernah coba-coba membawa bahan peledak, pasti kami tahu!" Seringai serdadu itu congkak. Bus kembali menderu panjang membelah jalan setapak berdebu tebal. Sorot tajam serdadu-serdadu itu mengantarkannya menghilang ditikungan.
Roman wajah-wajah penumpang bus ini seperti wajahnya juga. Di selimuti ketakutan yang amat sangat. Perdamaian yang sama-sama mereka serukan ternyata hanya omong kosong, hanya buih-buih tak berbobot dipecahkan oleh keganasan orang-orang Yahudi. No peace for Jewis!.
Hanya sopir tua itu yang terlihat cukup tenang. Sesekali mulutnya bergerak mengucapkan sesuatu, seperti sedang bedzikir.
"Banyak-banyaklah berdoa, semoga Allah selalu bersama kita. Gaza sedang gawat!!" Seru sopir bus itu lantang.
Ammar sudah hampir sepuluh tahun meninggalkan kota Hebron, ia ikut hijrah ke Mesir bersama pamannya. Sedang Amru kakaknya memilih menetap di Palestina. Mereka berpisah beberapa saat setelah kedua orang tuanya tewas dalam insiden pembantaian ekstrimis Yahudi, Baruch Goldstein tahun 1994 di Hebron. Ammar mencintai ilmu pengetahuan oleh karena itu ia mendaftar di Universitas Al-Azhar, menemui beberapa Syaikh di mesjid kampus setiap pagi. Dan pamannya; Aiman, selalu setia membimbingnya untuk terus belajar. Mereka menempati rumah yang cukup indah di barat Kairo, kemana mata memandang tak lepas dari eloknya sungai Nil. Sedangkan Amru, pindah tempat tinggal bersama kakeknya ke kota Gaza.
Hebron tak seperti dulu lagi. Seolah, kemana pun pergi di kota itu tidak luput dari dari sorotan mata pasukan Israel. Melihat ke atas pun, mata langsung bertemu dengan pemandangan pasukan Israel yang berdiri diatas atap rumah penduduk dengan senjata lengkap.
Guratan-guratan lesu terpampampang jelas di wajah para penumpang bus yang sebagain besar diisi oleh orang tua dan wanita. Puing-puing bangunan, bongkahan pondasi rumah-rumah yang berserakan menambah kepenatan siang hari itu. Dan desir angin musim panas ikut menggetarkan suasana batin yang tak menentu. Lalu, apa yang mereka harapkan selain memohon keselamatan kepada Sang Pencipta? Disaat itulah Allah terasa amat dekat dengan mereka. Dekat sekali.
Ammar teringat masa kecilnya di kampung dulu. Bila musim panas tiba, ia dan Amru berebut memanjat pohon Tin di belakang rumah.
"Hati-hati jatuh, nanti kalian tidak bisa sekolah!" Pesan ibunya waktu itu.
O, sekolah tentu barang yang mahal untuk anak-anak Palestina saat ini. Pena dan buku telah berubah menjadi batu dan ketapel. Ammar bersyukur telah diberi kesempatan untuk merasakan bangku kuliah, lain dengan Amru yang otodidak sejati. Mereka jarang bertemu, sekali dua kali saja Ammar pulang ke Palestina. Hanya lewat surat mereka berkirim kabar. abangnya suka bercerita tentang negeri yang kini terjajah, kampungnya yang dihancurkan dan dibangun pemukiman Yahudi Kiryat Arba, tentang perjuangannya bersama Hamas, dan kerinduannya yang menderu-deru untuk menjadi bunga syahid Palestina.
Pos polisi dan bendera-bendera Palestina terlihat samar-samar. Sebentar lagi bus akan memasuki gerbang kota Gaza. Ammar duduk terpekur di bangku pojok halte bus, mobil yang ditumpanginya sudah sejam yang lalu berhenti di antara antrean bus antar kota lainnya. Matanya berputar berkeliling, di pandinginya satu-persatu panorama kota ini. Semua itu hanya meninggalkan luka yang dalam di hatinya.
Sementara itu peledakan terus terjadi di beberapa hunian penduduk Yahudi. Jerussalem, Ashkelon, dan Tel Aviv berturut-turut diguncang bom syahid. Intelijen Israel terus mengejar dalang dibalik aksi-aksi itu, bahkan telah menyebar beberapa mata-mata. Namun selalu saja berhasil lolos.
***
Ammar bergegas keluar dari apartement yang masih setengah jadi itu, bahan peledak yang baru dirakitnya ia masukkan ke dalam ransel. Terburu-buru ia menuruni anak tangga, di bawah sudah menuggu seorang pemuda dengan mobil sedan usang. Mobil tua itu segera berlalu setelah tubuh Ammar benar-benar masuk. Mereka tidak menyadari ada sepasang mata dari tempat pembuangan sampah sedari tadi memperhatikan keduanya.
"Aku melihatnya dekat apartement yang belum jadi kapten, Aku yakin dialah orangnya. Wajahnya persis yang ada di photo." Kata pemulung sampah itu meyakinkan.
"Yang betul kamu, jangan bohong!!" Jawab kapten David tak percaya. Kulit wajahnya yang bule seketika memerah.
"Sumpah kapten! Saya melihatnya berdua dengan pemuda yang ikut konvoi dengan Hamas." Orang itu dengan semangat bercerita.
"Oke, aku percaya. Tapi kau harus terus cari tahu dimana tempat-tempat ia berada."
"Ini upahmu setengah dulu, kalau kau beri kabar lagi aku bayar semuanya." Imbuh kapten David sambil menyodorkan beberapa lembar uang.
"Kapten, ini masih kurang!"
"Sudah pergi sana, Arab tengik!!!"
Dengan perasaan agak dongkol pemulung sampah itu berlalu dari hadapan kapten David. Sumpah serapah muncul begitu saja dari mulutnya, hati kecilnya menolak perbuatan ini. Tapi, uang telah membunuh semangat nasionalisnya.
***
Ismail pengemudi sedan tua itu, cekatan membelok-belokan mobilnya menembus gang-gang kecil di pinggiran kota Gaza. Ia berusaha menghilangkan jejak dari intaian mata-mata Israel.
"Ammar, bukankah hari ini adikmu akan datang dari Mesir?" Tanya Ismail tanpa menoleh sedikit pun.
"Itulah yang menjadikan aku senang dan sekaligus cemas."
"Intel-intel Israel telah menyebar mata-matanya, aku agak kesusahan untuk bertemu dengannya." Jawab Amru datar.
"Tenang akhi, aku bisa membantumu. Akan aku atur pertemuan ini tanpa harus takut dengan mata-mata murahan itu." Kata Ismail lirih.
"Ya, tentu saja aku sangat percaya denganmu. Tapi, dimana tempatnya?"
"Aku ada usul kita bertemu di mesjid Al-Jihad samping rumahku, tempatnya tenang." Seru Ismail, kini suaranya meninggi.
"Oke, aku setuju. Tapi, aku minta tolong jemput adikku di halte bus, aku masih ada tugas di pasar Khan Yehuda." Ucap Amru.
Ismail mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia mengenal Amru sebagai perakit bom handal di brigade kecil Hamas. Yang menjadikannya cinta kepada Amru, karena pemuda ini selalu mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan makhluk yang bernama kematian. Ia sering mendapati Amru terisak membaca mushaf kecilnya, dan wangi Misq selalu menempel dipakaiannya. Entah hanya itukah yang ia persiapkan?
"Turunkan aku di depan! Sampai ketemu lagi akhi, assalamu'alaikum." Pinta Amru kepada Ismail.
"Wa'alaikumussalam, hati-hati, semoga Allah bersamamu."
***
Adzan Isya baru saja usai berkumandang, ketika pesawat heli Apache berkeliling mengintai. Heli buatan Amerika ini dikenal pemburu nomor satu, tidak seperti biasanya malam-malam begini berputar membentuk angka delapan. Ini membuat sebagian penduduk kota Gaza menerka-nerka apa yang akan terjadi.
Di dalam mesjid dua orang pemuda tampak berpelukan erat. Amru dan Ammar dua pemuda itu. Mereka tampak senang bisa berjumpa kembali disaat-saat darurat seperti ini. Rindu yang selama ini dipendam lebur dalam kekhusyuan jamaah shalat Isya.
"Baiklah Ammar, engkau istirahat dulu saja dirumah sahabat kita Ismail. Engkau akan aman bersamanya. Tentu, aku akan mendatangimu lagi. Mata-mata terus mengintai keberadaanku. Ini mushaf kecilku, peganglah! Jangan lupa dibaca! Assalamu'laikum." Begitu pesan Amru kepada Adiknya.
"Wa'alaikumussalam. Aku akan menunggumu, Kak. Aku akan selalu memdoakanmu." Jawab Amar.
Amru segera berlalu keluar mesjid, diantar dengan pandangan Ammar yang masih tertegun. Jamaah shalat Isya tinggal beberapa orang saja, sebagian sudah pulang. Karena malam pun beranjak larut. Bergegas Amru memasuki mobil Jeep abu-abu. Rupanya ia sudah ditunggu dua orang pemuda berbadan tegap.
"Wuss!! Wuss!!"
Tiba-tiba saja dua peluru raksasa melesat dari langit Gaza memburu Jeep abu-abu itu.
"Bum!!! Bum!!!" Dua dentuman menggelegar di bumi. Mobil Jeep porak-poranda juga penumpangnya. Suasana gaduh tiba-tiba pecah di malam yang tadinya sepi itu.
"Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!" Orang-orang berlarian datang untuk menolong, tapi mereka hanya menemukan kobaran api, kepingan besi, dan serpihan daging disertai bau amis darah. Yel-yel anti Yahudi menggema lagi. Seruan intifadhah bertalu-talu di seantero negeri.
Di pelataran mesjid Ammar menangis, meraung sambil memeluk tubuh kakaknya yang sudah hancur. Ia temukan di wajah yang menghitam itu senyum tipis. Untuk sekian kalinya bidadari-bidadari turun lagi di langit Palestina. Mereka berebut, seraya menaburkan bunga padma.
Kamis, 12 Agustus 2010
Terjaga di Gaza
Posted by MUHAMAD ANNAS AL-BAB FAUZI on 09.10
0 komentar:
Posting Komentar