Meski setiap hari harus menerima ludahan dari seorang kafir quraisy, namun Rasulullah Muhammad Saw tidak pernah menaruh dendam ataupun kebencian. Bahkan ia membalasnya dengan menjadi orang yang pertama kali menjenguk ketika si peludah itu sakit. Begitu juga dengan peristiwa Thaif, sedemikian kejamnya masyarakat wilayah itu melempari batu, menzhalimi Rasulullah dan para sahabat sampai Izrail pun tak kuasa ‘menahan amarah’ dan menawarkan membalikkan gunung untuk ditimpakan kepada kaum Thaif. Namun manusia agung itu lebih memilih memaafkan.
Rasulullah mengajarkan (sekaligus mempraktekkan) keutamaan memberi maaf. Lebih umumnya, Rasulullah juga menekankan pentingnya setiap mukmin untuk memiliki kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri, yang kemudian kita lebih mengenalnya dengan istilah sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan, ikhlas menghadapi berbagai cobaan, dan tenang dalam tekanan.
Daniel Goleman dalam bukunya yang menjadi best seller, Emotional Intellegence memaparkan tentang satu bagian penting dalam jiwa manusia yang bernama emosi yang dikatakannya justru sangat menentukan kebahagiaan dan penderitaan manusia. Menurut Goleman, emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika mengambil keputusan karena tidak jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionya karena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional. Jika kita memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia, ternyata lebih banyak ditentukan oleh emosi daripada akal sehat.
Pada emosi, tambah Golemen, bergantung suka, duka, sengsara, dan bahagianya manusia; bukan pada rasio. Karena itulah hendaknya kita memperhatikan kecerdasan emosi selain kecerdasan otak. Disebutkannya, bahwa yang menentukan sukses dalam kehidupan manusia bukanlah rasio tetapi emosi. Berkaitan dengan ini, dari hasil penelitiannya ditemukan satu situasi yang disebut dengan When smart is dumb, ketika orang cerdas jadi bodoh. Ia menemukan bahwa orang Amerika yang memiliki kecerdasan atau IQ diatas 125 umumnya bekerja pada orang yang memiliki kecerdasan rata-rata 100. Artinya, orang yang cerdas umumnya menjadi pegawai dari orang yang lebih bodoh dari dia. Kecerdasan intelektual memang bisa membantu orang meraih kesuksesan, namun kesuksesan seringkali ditentukan oleh kecerdasan emosional. Dan kecerdasan emosional diukur dari kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri, itulah yang disebut sabar.
Seringkali kita menjumpai orang yang bersikap bodoh hanya karena tidak mampu mengendalikan emosinya. Rasulullah yang kita kenal tak memiliki kemampuan membaca dan menulis ternyata memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa tinggi. Bayangkan betapa luhurnya orang yang memberi maaf kepada mereka yang melakukan kesalahan. Padahal perintah-Nya adalah memaafkan, terlepas orang yang melakukan kesalahan itu memintanya atau tidak. Mulialah mereka yang melakukan itu.
Demikian juga dengan kesadaran dan ketenangan yang tinggi dalam menghadapi berbagai kesulitan. Kunci suksesnya adalah mengendalikan emosi dan menahan diri (sabar), sehingga ia tak melakukan kebodohan dari ketergesa-gesaan atau amarahnya yang biasanya berujung pada penyesalan. Dan tidak jarang pada saat itu, tangan ini refleks memukul kepala, “bodohnya aku”. Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)
Kamis, 12 Agustus 2010
Ketika Orang Cerdas Jadi Bodoh
Posted by MUHAMAD ANNAS AL-BAB FAUZI on 08.59
0 komentar:
Posting Komentar