Sudah beberapa hari ini rumahku bak kapal pecah, berantakan! Biarin, aku lagi nggak peduli. Eh, memang aku sengaja deh biar suamiku “ngeh” kalau aku lagi melakukan aksi unjuk diam. Bukan diam mulut tapi diam nggak ngapa-ngapain. Tapi yang bikin gemes, dia cuek aja.
“Jadi liburnya kapan, Yah?” Entah untuk yang keberapa kali aku menanyakan hal ini pada suamiku. Bukan apa-apa, sudah beberapa kali pula suamiku selalu mengumumkan penangguhan libur di tempat kerjanya. Padahal anak-anak sudah bosan main di rumah, nggg...aku juga sih, bosan di rumah terus.
“Masih belum tahu. Soalnya jadwal baru belum disusun di kantor” suamiku menjawab ringan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV, serius mengikuti perkembangan Palestina di BBC.
“Selalu nggak jelas begitu. Nggak professional!” Aku beranjak ke meja komputer. Raihan dan Rauda, kedua anakku sudah terlelap setelah aku tunaikan rutinitas mendongeng untuk mereka. Mending internetan! Tapi...ah, baru saja kubuka situs langgananku, tiba-tiba Rauda bangun lagi dan merengek minta aku kembali ke kamar.
Hhhhh…kenapa sih bangun lagi, batinku. “Yah, tolong tuh Rauda ditemani bobo.”
“Sini, Rauda...”
Rauda makin ribut. Ugh, bukannya dijemput! Lha kalau lagi ngambek begitu Rauda mana bergeming?
“Tolong dong dijemput, Yah. Bunda mau internetan” Aku mulai kesal.
Tak ada respon.
“Setiap hari beginiiii terus... Kapan Bunda punya waktu untuk diri sendiri, kapan punya waktu untuk memperluas wawasan…kalau dari pagi sampai malam cuma capek dan sibuk ngurus anak-anak, ngurus ayah, ngurus rumah…” Dan bla-bla-bla…rasanya puncak kekesalanku sudah mencapai ujung rambut. Rauda jadi cemas, rengekkannya berubah menjadi tangis kencang.
*****
Awalnya tak pernah terbayang olehku, bahwa hidup bisa sedemikian cepat berubah. Terlalu sangat tiba-tiba, malah. Dulu aku terbiasa sibuk dengan organisasi kampus, kemudian kerja di kantor, juga organisasi sosial kemasyarakatan. Pergi pagi pulang malam, hhmmm...sampai nggak sempat belajar bagaimana caranya mengurus rumah. Ups! Aktivitas yang satu itu memang aku paling malas, apalagi memasak! Dan disaat sibuk meneruskan kuliah Masterku, tiba-tiba seseorang datang meminang, aku jadi kelabakan. Apalagi jeda waktu persiapannya begitu pendek, sampai sulit rasanya untuk bernapas. Tapi pernikahan memang perlu disegerakan, agar tidak timbul fitnah, apalagi untuk kami yang sedang merantau di negeri orang. Alhamdulillah, pada akhirnya segala urusan lancar. Hanya saja, setelahnya aku sempat terseok-seok menyelesaikan thesisku karena aku dan suamiku memutuskan untuk tidak menolak amanah, memiliki anak.
Beruntung profesorku orang yang baik dan mau mengerti kondisiku. Aku banyak diberi kelonggaran-kelonggaran termasuk waktu kuliahku yang diperpanjang. Aku berhasil menyelesaikan studiku, saat Raihan berusia 6 bulan. Tak sampai setahun kemudian aku kembali dikaruniai anak kedua. Maka sejak saat itulah aku mulai belajar mengubur angan-angan, beraktifitas di luar rumah dan berkarir.
Mungkin kalau aku tega, bisa saja anak-anak aku titip di tempat penitipan anak seperti saran profesorku dulu saat aku kelimpungan membagi waktu antara menyelesaikan thesisku dan mengurus keluarga. Tapi aku tidak rela dan tega. Anak-anakku butuh ASI bundanya setiap saat mereka haus, butuh dekapan dan belaian sayang saat merasa cemas atau sakit, dan yang pasti aku ingin mendidik anak-anakku aqidah Islam sejak usia dini. Tentu ada konsekuensinya. Seluruh waktuku otomatis terpaku pada urusan suami, anak dan rumah. 24 jam sehari! Layaknya para perantau, di negeri ini, semua harus dikerjakan sendiri karena tenaga manusia teramat sangat mahal. Awalnya aku begitu bahagia dan bangga, bisa mengurus segala sesuatu dengan tanganku sendiri. Setiap bulan, saat menelpon mama di Jakarta ada saja laporan resep masakan yang telah sukses aku praktekkan.
Tapi lama kelamaan kerja rutin 24 jam itu membuatku bosan dan aku merasa otakku makin tumpul. Aku jadi cepat lupa, jangankan untuk mempertahankan jumlah vocab bahasa Inggrisku, bahkan untuk mengingat hari dan tanggal saja aku sering kewalahan! Mau bergaul dengan tetangga juga susah, selain mereka individual, bahasanyapun aku tak begitu mengerti karena bahasa utama mereka bukan bahasa Inggris. Sementara suamiku... ah, dia asyik sendiri dengan kuliah dan kerjanya. Kalau sudah begitu, ingin rasanya segera pulang ke tanah air. Aku bisa lebih banyak beraktifitas disana, tidak seperti disini. Semakin hari aku merasa semakin suntuk dan terpuruk, seperti burung dalam sangkar emas...
*****
Beberapa hari belakangan suamiku tampak sibuk di depan komputer. Setelah makan malam dan sholat, dia akan serius mengetik sampai larut malam. Hhhh... paling-paling mengerjakan thesisnya, tulisan-tulisannya atau tugas-tugas kantor. Aku tidak peduli. Setelah capek seharian aku lebih memilih langsung tidur bersama anak-anak.
“Coba tolong dibaca, Nda. Barangkali ada yang kurang” Suamiku menyodorkan beberapa lembar kertas.
Sejenak kupandangi saja kertas-kertas ditangannya. Tak berminat. Dulu, saat aku masih kuliah dia biasa minta tanggapan dan masukan-masukan dariku untuk setiap tulisan-tulisan yang dibuatnya, entah tugas kuliah atau tugas kantornya. Begitu juga sebaliknya dia akan membantu dan memberi kritiknya untuk tugas-tugas kuliahku. Tapi belakangan aku sudah malas, selain capek membaca dan mencerna tulisan berbahasa Inggris itu, aku juga merasa patah arang. Untuk apa, toh aku hanya akan mengurusi rumah saja.
“Baca dulu dong, say...”
Ugh, maksa lagi! Setengah hati kuambil kertas-kertas itu. Lho ini kan draft proposal untuk kuliah S3... kulihat juga lembar-lembar CVku dan beberapa tulisan yang dulu pernah dikerjakan suamiku. Wah, nggak nyangka, ternyata dia pakai juga masukan-masukanku untuk tulisan-tulisannya, dan mencantumkan namaku sebagai co-authornya.
“Gimana, kalau masih ada yang kurang bisa cepat dilengkapi. Biar Ayah bisa segera kirim ke Universitas”
Aku diam, masih takjub.
“Kalau sudah nggak ada yang kurang, cepat Bunda tanda tangani surat permohonannya, ya”
“Anak-anak...Biayanya...” Ya, saat itu yang terpikir olehku bagaimana nasib anak-anak. Siapa yang akan mengurus mereka kalau Bundanya kuliah lagi, dan dari mana kami bisa membayar biaya kuliah yang mahal sedangkan untuk mendapat beasiswa susahnya bukan main.
“Bunda baca lagi deh pelan-pelan. Itu kan proposal untuk kuliah jarak jauh, jadi bisa dari rumah. Ya, mungkin sekali-sekali perlu juga ketemu sama dosen, tapi waktunya bisa diatur kok. Mudah-mudahan, kalau profesornya punya proyek Bunda bisa dilibatkan disana, jadi bisa gratis untuk biayanya. Tapi proposalnya juga harus yang menarik. Insya Allah, kita kan sedang mencoba dan berusaha. Thesis Bunda kemarin bagus, ayah yakin paling tidak akan sempatlah dilirik oleh profesornya. Maaf ya Nda, ayah memang sengaja buat ini. Habis waktu luang Bunda setelah mengurus rumah hanya habis buat internetan dan balas email-email aja sih...”
Aku tersenyum malu, kucubit pinggangnya manja. Ah, ternyata dia masih memikirkanku dan tak ingin segala potensi dalam diriku berkarat dan tumpul karena termakan waktu. Hhmm, nanti malam aku akan mulai lagi membuka-buka materi-materi kuliahku dulu, banyak baca literatur Inggris lagi, dan...ah, aku merasa api semangatku mulai menghangat dan berkobar. Tidak apa-apa tidak kuliah di ruang kelas, tidak bertemu teman-teman atau dosen di kampus.... Tentu, aku akan lebih bahagia membayangkan belajar ditemani anak-anakku dalam ruang-ruang rumah kami yang nantinya tidak lagi seperti sangkar emas.
0 komentar:
Posting Komentar