Minggu, 10 Oktober 2010

Dilema Anatara Astronomi Dan Astrologi

Bagi seseorang yang mengaku belajar astronomi, tidak jarang terjadi ada orang yang minta diramalkan nasibnya, seraya mengatakan bahwa bintangnya adalah X dan meminta supaya dibaca peruntungannya di masa datang. Kebanyakan hanya bercanda saja untuk membuat si astronom kesal, namun tidak sedikit pula yang serius, mengira bahwa astronomi adalah bidang studi untuk mempelajari cara-cara meramalkan masa depan berdasarkan posisi benda-benda langit.

Bercanda ataupun tidak, mempertukarkan astronomi (modern) dengan astrologi adalah cara mudah untuk meruntuhkan mood saya. Kredo astrologi, yaitu bahwa posisi dan pergerakan benda langit punya pengaruh terhadap kehidupan manusia, kini sudah tidak sesuai dengan fakta observasi bahwa hukum-hukum alam berlaku universal dan tidak punya preferensi khusus pada kemanusiaan.

Rasi waluku (di Barat dikenal dengan nama Orion) memiliki peranan penting dalam pranoto mongso Jawa. Terbitnya Orion di waktu Subuh adalah penanda bagi petani untuk mulai membajak sawah dan bercocok tanam. Kredit foto: Emanuel Sungging Mumpuni

Namun demikian saya tidak menafikan kenyataan bahwa tiga setengah abad lalu dan masa-masa sebelumnya, astronomi dan astrologi adalah barang yang kurang lebih sama. Kemampuan membaca posisi pergerakan benda langit adalah keahlian yang harus dikuasai hampir semua orang. Hal ini ada kaitannya sebagian besar dengan penggunaan benda-benda langit untuk menentukan waktu, misalnya Matahari dan Bulan, dan juga penentuan posisi di Bumi. Petani membutuhkan keahlian astronomi untuk mengetahui kapan waktu bercocok tanam dan panen, pelaut membutuhkan keahlian astronomi untuk menentukan posisi dan arah berlayar, arsitek untuk menentukan arah mata angin, dan pemburu untuk menentukan waktu dan posisi.

Bandingkan dengan kehidupan modern. Berapa di antara kita yang sanggup mengenali rasi bintang dan menentukan arah dan jam berdasarkan posisi benda langit? Di mana bintang kutub atau salib selatan? Benda itu bintang atau planet? Di jaman modern, waktu telah dihitung dengan bantuan jam dan standardisasi zona waktu, posisi dan arah telah dihitung oleh GPS atau kompas, dan hari-hari telah ditentukan oleh kalender. Bagi manusia modern, astronomi adalah sesuatu yang terlepas dari kehidupan sehari-hari, namun bagi manusia satu milenium lalu, astronomi adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.

Karena dekatnya benda-benda langit dalam kehidupan sehari-hari manusia di jaman lama, wajarlah bila ide bahwa benda-benda langit mempengaruhi kehidupan mereka adalah sesuatu yang masuk di akal mereka. Di bawah paradigma inilah kosmologi Aristoteles dikembangkan. Aristoteles mengatakan bahwa Bumi yang tak bergerak di tempatnya adalah pusat alam semesta dan langit (didefinisikan sebagai Bulan dan apapun di atasnya, termasuk matahari, planet-planet, dan bintang-bintang) memiliki hukum alamnya sendiri yang berbeda dengan hukum alam di Bumi (disebut juga daerah sublunar yaitu daerah di bawah Bulan). Daerah sublunar tersusun atas empat elemen dasar (air, api, tanah, dan udara) yang selalu berubah bentuk satu sama lain, sementara di luar daerah sublunar terkandung aether yang kekal.

Seorang astronom pada masa pra-teleskop sedang mengukur posisi bintang dengan sebuah tongkat silang. Di sekitarnya terserak alat bantu lain, antara lain dua buah orrery (bola langit mekanis) di kiri-kanan sang astronom dan sebuah astrolabe tergeletak di lantai sebelah kiri. Ilustrasi oleh George Billerger.

Kosmologi Aristoteles mendominasi cara pandang orang terpelajar Eropa selama dua millenium. Menurut Aristoteles, semua yang terjadi di daerah sublunar disebabkan dan ditentukan oleh apa-apa yang terjadi di langit. Di dalam paradigma inilah astrologi memperoleh tempatnya di dalam kesadaran masyarakat terdidik masa lalu.

Menafsirkan posisi dan arah pergerakan benda-benda langit untuk membaca masa depan menjadi sesuatu yang penting, terutama bagi mereka yang berkuasa. Mempekerjakan astrolog kerajaan adalah sebuah kebutuhan. Astronomi sebagai ilmu ukur posisi bintang dan planet dapat berkembang pesat juga adalah karena kebutuhan ini. Posisi bintang dan planet harus diukur dengan teliti, semakin teliti semakin baik supaya tafsir yang dibuat semakin baik. Posisi mereka di masa depan harus bisa diprediksikan dengan baik, semakin tepat prediksinya semakin baik supaya ramalan yang dihasilkan semakin tepat. Model geosentrik yang dibuat Ptolomeus mampu menghitung posisi planet-planet untuk waktu kapanpun dengan akurat, dan mampu menghasilkan tabel-tabel posisi planet-planet yang memberikan posisi planet pada waktu kapanpun. Kitab Almagest adalah modal penting seorang astrolog kerajaan untuk menafsirkan posisi benda-benda langit dan meramalkan masa depan.

Karena pentingnya posisi astronomi inilah, maka dalam kurikulum universitas di abad pertengahan, astronomi adalah mata kuliah yang harus dikuasai seorang mahasiswa. Pada abad ke 12 dan 13, di Universitas Paris (dan juga universitas-universitas lain di Eropa) misalnya, seorang mahasiswa pertama-tama harus lulus Trivium yaitu tiga serangkai mata kuliah Tata Bahasa, Logika, dan Retorika (Seni Berpidato), dilanjutkan dengan Quadrivium yaitu empat serangkai mata kuliah Aritmetika, Geometri, Musik, dan Astronomi. Tentu saja di abad pertengahan pendidikan tinggi adalah sebuah kemewahan yang hanya bisa dinikmati lapisan teratas masyarakat.

Astronomi dianggap penting sehingga harus menjadi mata kuliah wajib di universitas, juga adalah karena paradigma bahwa benda-benda langit berperan penting dalam kehidupan manusia. Semua orang harus tahu cara mengetahui posisi benda-benda langit. Bahkan ilmu kedokteran pada abad itu pun bersandar pada astronomi untuk mengetahui sebab musabab penyakit. Dapatkah kita membayangkan dokter kita mengkonsultasikan peta langit dan tabel posisi planet-planet sambil mendiagnosis penyakit kita? Bagi manusia modern hal ini mungkin terasa absurd tapi beginilah jawaban seorang profesor fakultas kedokteran Universitas Paris ketika ditanya Raja Perancis mengenai sebab musabab Wabah Hitam di tahun 1348–9:

Wabah ini disebabkan karena adanya konjungsi penting tiga planet-planet terluar di rasi Aquarius, yang bersama-sama konjungsi lain dan juga gerhana, adalah penyebab pengotoran udara dan juga tanda-tanda kematian, wabah kelaparan, dan bencana-bencana lainnya.

Mereka juga melanjutkan:

Konjungsi Saturnus dan Jupiter menyebabkan kematian rakyat dan pengurangan penduduk … konjungsi Mars dan Jupiter menimbulkan pengaruh jahat di udara.

Seorang dokter abad pertengahan sedang memeriksa air seni pasiennya. Dokter pribadi Anda mungkin tidak akan memeriksa Anda, melainkan akan mendiagnosis menyakit Anda berdasarkan air seni Anda dan posisi planet-planet. Kredit: Perpustakaan Nasional Perancis, (BNF, FR 135, fol. 223)

Kesegarisan planet-planet ini diduga menyebabkan pengotoran udara (miasma) yang kemudian akan dihirup oleh manusia dan berakibat pada rusaknya keseimbangan cairan tubuh. Kesehatan individu dan masyarakat diduga dipengaruhi oleh konjungsi planet-planet dan fase bulan. Konsep mengenai bakteri, infeksi, dan penularan penyakit adalah sesuatu yang asing pada jaman itu dan tidak akan dikembangkan sampai lima abad kemudian. Pengucuran darah (bloodletting), sebuah praktik kedokteran yang umum dilakukan pada masa itu, dapat menguntungkan pada fase bulan tertentu, namun tidak pada waktu-waktu lain. Kapan seorang pasien akan sembuh ditentukan dari bagaimana posisi planet-planet pada saat ia jatuh sakit. Teks-teks medis yang lebih tua mengatakan bahwa pergerakan planet-planet tertentu mengendalikan organ-organ tubuh tertentu: Merkurius mengatur kerja otak, Jupiter mengatur lever, dan seterusnya.

Anatomi manusia dan zodiak yang mengatur kerja organ tubuh. Pada jaman pertengahan, orang menduga kerja tubuh manusia diatur oleh posisi rasi dan planet. Oleh karenanya dokter harus paham astronomi dan juga astrologi. Ini adalah ilustrasi dari manuskrip Très Riches Heures du Duc de Berry, salah satu manuskrip terpenting dari abad 15.

Buku-buku teks kedokteran dari abad pertengahan penuh dengan instruksi-instruksi seperti demikian, sebuah diagnosis yang bersandarkan pada astrologi, numerologi, kesalahan konsep tentang cara kerja tubuh manusia, pengalaman langsung, dan kabar burung. Orang yang sinis mungkin akan mengatakan bahwa dokter abad pertengahan tidak tahu apa-apa mengenai ilmu kedokteran, namun pemaparan di atas mengenai cara kerja seorang dokter abad pertengahan berdasarkan astrologi justru menunjukkan sebaliknya: dokter abad pertengahan tahu banyak mengenai ilmu kedokteran, hanya saja paradigma ilmu kedokteran abad pertengahan sangatlah berbeda dengan ilmu kedokteran masa kini. Dokter dan ahli bedah abad pertengahan tidak hanya dibayar mahal namun juga memiliki pengetahuan yang luas dan pengalaman yang banyak. Tidak jauh berbeda dengan dokter dan ahli bedah masa kini. Hanya saja perbedaannya, sayangnya, adalah bahwa pengetahuan dan pengalaman seorang dokter abad pertengahan tidak akan banyak membantu penyembuhan kita. Beberapa pengetahuan dan pengalaman ini tidak hanya berbahaya namun juga mematikan.

Pemaparan di atas adalah salah satu gambaran mengenai lekatnya peran astrologi dalam masyarakat. Dokter abad pertengahan harus paham astronomi apabila ia ingin bekerja, pun juga halnya dengan orang-orang yang menempuh pendidikan tinggi. Bila Anda adalah seorang yang hidup di abad pertengahan dan Anda berkenalan dengan seseorang yang paham astronomi, adalah wajar apabila Anda meminta nasihatnya mengenai masa depan (apalagi apabila Anda punya legitimasi untuk itu, misalnya Anda adalah Raja Inggris).

Nicolaus Copernicus, seorang padri Polandia, berpikir bahwa Matahari seharusnya menjadi pusat alam semesta dan bukan Bumi. Foto ini adalah wajah Copernicus pada usia 70 tahun, berdasarkan rekonstruksi forensik terhadap tengkorak Copernicus yang ditemukan arkeolog

Pergeseran paradigma Aristoteles mulai terjadi ketika Nicolaus Copernicus menerbitkan bukunya, De revolutionibus orbium coelestium (Mengenai Revolusi Bola-bola Langit). Di dalam buku ini Copernicus menawarkan paradigma baru bahwa pusat tata surya adalah Matahari dan bukan Bumi, serta cara-cara menghitung posisi benda langit berdasarkan paradigma ini. Copernicus meninggal tepat pada saat buku ini keluar dari percetakan, namun buku ini dibaca oleh intelektual pada masa itu walaupun pandangan Copernicus diterima hanya sebatas wacana. Generasi selanjutnya, Galileo Galileo, melakukan serangkaian percobaan yang menunjukkan ketidaktepatan fisika Aristoteles. Namun usaha Galileo untuk mempromosikan paradigma Copernicus berujung pada pengadilannya oleh Dewan Inkuisisi Vatikan dan ditetapkannya ia sebagai tahanan rumah sepanjang hidupnya. Kegagalan Galileo terjadi tidak hanya karena ketidakmauan Vatikan untuk mengubah paradigmanya tetapi juga karena Galileo hanya memberikan analogi sebagai argumentasinya dan bukan bukti-bukti kuantitatif yang dapat mendukung paradigma Copernicus.

Sementara itu, pada masa yang kurang lebih sama, di Eropa utara hidup Johannes Kepler dan Tycho Brahe. Sebagai ahli matematika, Kepler percaya bahwa hukum alam bisa dijelaskan secara matematis dan bahwa orbit benda-benda langit bisa dinyatakan sebagai orbit berbentuk lingkaran yang garis tengahnya sebanding dengan ukuran sebuah segi-banyak (poligon) yang sisi-sisinya menyentuh lingkaran tersebut. Model Kepler gagal memprediksi posisi benda-benda langit. Namun di hadapan data-data astronomi, Kepler tua berbeda dengan Kepler muda. Kepler tua membuang konsepsinya semasa muda dan, berdasarkan data-data astronomi yang dikumpulkannya, memformulasikan tiga hukum pergerakan planet yang kemudian dinamakan Hukum Kepler.

Johannes Kepler bekerja sebagai astrolog dan banyak menerbitkan tabel-tabel prediksi posisi benda langit. Namun prediksi yang didasarkan pada model heliosentrik Ptolomeus ini semakin jauh dari kenyataan yang diamatinya. Lukisan ini dibuat pada tahun 1610, pada masa hidup Kepler, oleh pelukis tak dikenal.

Namun sebelum itu, Kepler juga adalah seorang astrolog yang bekerja untuk Jenderal Wallenstein, seorang penguasa perang dari Bohemia. Orang yang di kemudian hari mempekerjakannya, Tycho Brahe, seorang bangsawan Denmark, dianggap sebagai pengamat astronomi terbaik pada jamannya, juga mempraktikkan astrologi kepada teman-temannya. Namun kedua orang ini, Kepler dan Tycho, sama-sama gelisah dengan teknik-teknik astrologi kontemporer. Keduanya masih berpegang pada paradigma Aristoteles bahwa benda langit mempengaruhi kehidupan manusia, namun keduanya tidak paham bagaimana persisnya pengaruh ini bekerja. Model astronomi Ptolomeus juga kian hari kian tidak akurat di hadapan data-data astronomi yang mereka ukur selama hidup mereka. Model geosentris mulai menunjukkan kelemahannya: model ini tidak lagi tepat dalam meramalkan posisi benda-benda langit. Dengan berbekal data pengamatan Tycho Brahe, Kepler berhasil menurunkan tiga hukum pergerakan Planet yang mulai mengubah pandangan orang tentang cara kerja alam semesta.

Dengan merumuskan hukum geraknya, Isaac Newton menyatukan hukum alam yang berlaku di Bumi dan yang berlaku di langit. Ilustrasi ini merupakan simbolisasi olah pikir Newton mendeskripsikan dunia, karya seniman Inggris, William Blake.

Usaha untuk menyatukan hukum alam di Bumi dengan hukum alam di langit dilakukan dengan sukses oleh Isaac Newton. Setelah merumuskan hukum geraknya yang termashur, selanjutnya Newton menerapkan ketiga hukum geraknya pada pergerakan benda-benda langit. Dengan mengasumsikan adanya gaya gravitasi yang bersifat universal (i.e. serbasama di langit maupun di Bumi), ia berhasil menurunkan hukum pergerakan planet yang bentuknya sama dengan ketiga Hukum Kepler. Tidak hanya itu, keberadaan gaya gravitasi juga menjelaskan mengapa benda jatuh ke Bumi dan seberapa cepat benda yang dijatuhkan ke Bumi akan jatuh. Hukum Newton punya kemampuan prediksi yang kuat, dan mampu menjelaskan fenomena orbit Bumi mengitari Matahari dan juga fenomena jatuhnya benda ke tanah dalam paradigma yang sama. Dengan melakukan berbagai eksperimen di Bumi dan juga menghadapkan Hukum Newton pada data-data pengamatan astronomi, orang membuktikan bahwa Hukum Newton memang berlaku di mana-mana, di langit maupun di Bumi. Berbekal Hukum Newton, Edmond Halley dapat menghitung orbit sebuah komet yang ia prediksikan akan mendekati matahari setiap 76 tahun sekali, sebuah prediksi yang terbukti benar dan komet itu kemudian dinamakan Komet Halley.

Dengan dirumuskannya ketiga hukum gerak Newton, lengkaplah pergeseran paradigma dari fisika Aristoteles ke arah Mekanika Newton. Pengamatan Kepler dan teori Mekanika Newton menunjukkan bahwa hukum alam yang berlaku di Bumi ternyata sama dengan yang berlaku di langit, hukum alam ternyata bersifat universal. Astronomi sebagai salah satu cabang sains kini menemukan pijakan yang baru, yaitu teori-teori fisika. Dengan adanya pijakan yang baru ini ia semakin menjauh dari astrologi. Pengukuran dan pengamatan benda-benda langit kini tidak lagi dilakukan untuk meramal nasib manusia, tetapi untuk memahami bagaimana alam bekerja.

``Seorang padri abad pertengahan bercerita bahwa ia telah menemukan titik di mana langit dan Bumi bersentuhan...'' Sebuah ilustrasi dari buku Camille Flammarion, L'atmosphère: météorologie populaire (Atmosfer: Meteorologi populer).

Bibliografi

  • Anthony Aveni, People and the Sky: Our Ancestors and the Cosmos (2008)
  • Arthur Koestler, The Sleepwalkers: A History of Man’s Changing Vision of the Universe (1959)
  • Ian Mortimer, The Time Traveller’s Guide to Medieval England: A Handbook for Visitors to the Fourteenth Century (2009)

English version here.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails