Kamis, 12 Agustus 2010

Cakrawala Pembatas Mimpi

Aku terpaku menatap gundukan karang warna moka. Bongkahan bebatuan masih berada pada tempatnya semula. Tak bergeming meskipun gulungan ombak menghantam, atau angin dari pesisir menghempaskannya. Dua tahun yang lalu, tempat ini mengukir sepenggal cerita dalam butiran pasir warna putih. Angin di akhir Musim Gugur membawa kepingan sukma, terbangkannya ke alam pada. Menguraikan untaian mimpi yang entah sampai kapan akan terus bertahta.

Sepasang Angsa berpagut dalam kebersamaan. Mataku berpendar ke setiap sudut. Jauh di dasar hati, aku berharap masih mampu merekam kenangan itu, sebagaimana aku mendengar merdu suaramu pada tape recorder, saat kita bertelpon, atau saat kita siaran bersama di Radio Fm 0410. Lihat! disetiap bongkahan batu itu, tercatat bait-bait puisiku untukmu. Untukmu, Det! Kau balas dengan sebuah tembang cinta. Sepenggal bait lagu kau tembangkan untukku kala itu, "Baby, I need your love" seraya matamu penuh gairah menatapku. Sepanjang jalan ini, kidung itu laksana candu asmara. Aku bergelayut mesra pada pinggangmu, dan rengkuhanmu bagai bir yang menghantarkanku pada pemabukan.

Dua bulan kemudian.

"Jika memang terpaksa, kita menikah," begitu katamu di line telpon ketika aku berada pada puncak kegelisahan. Dunia sering kurasakan berputar, huruf-huruf yang terpampang disetiap pertokoan, kadang samar dalam ejaanku. Tiang lampu di sepanjang tepian jalan, kadang hampir berbentur oleh kepalaku. Aku limbung. Bagai bepijak di atas angin setelah segalanya terjadi.

"Terpaksa?" nada tanyaku dengan kerutan kening. "Aku tak akan menuju kursi pelaminan dengan sebuah keterpaksaan. Kamu berhak untuk tidak menikahiku!" Kalimat itu meluncur begitu saja. Padahal hatiku berserakan bagai serpihan kaca. Kata terpaksa itu tak ubahnya ludah beracun yang kau semburkan ke wajahku, Det! juga seteguk anggur berlebel Baby, I need your love itu. Aku menghela nafas tanpa suara. Kerongkonganku kian kelu. Ludahku sendiri seakan menggumpal di rongga tenggorokan. Air mataku siaga di pelupuk mata, tapi aku tak mau ia ceroboh, tumpah ruah tak pada tempatnya.

"Sudah test?" tanyamu memecahkan kebisuan. Jarum jam di atas meja kamarku mulai samar terdengar.

"Belum!" sahutku. Suaraku kian parau, tak sejernih tadi. Andai kau jeli dan masih punya hati, tentu kau akan menanyakannya padaku. Tapi itu tak kau lakukan sama sekali. Barangkali kau ingin memberiku kesan bahwa aku tak layak lagi bertahta di istanamu. Tak pantas menjadi peri yang menghantui setiap detakan nafasmu. Padahal dulu kau begitu bangganya menyebutku sebagai bidadarimu.

"Itu tak mungkin," jawabmu tegas. Seakan kau tak pernah menyentuh bibir pantai dengan pasir putihnya. Kau anggap aku benda mati yang tak berasa.

"Andai mungkin?"

"Dua kali, mana mungkin?"

"Kau anggap aku pelacur? Begitu?" emosiku meluap.

Kau diam. Entah bagaimana ekspresi wajahmu saat itu? Aku bukan hendak menuntutmu ke pengadilan cinta, Det? Bukankah itu tak berlaku untuk sepasang merpati seperti kita. Cinta. Kita punya cinta.

"Pergi test dulu, baru khabari aku." Suaramu terasa dingin.

Aku menggigil, jari-jemariku bergetar, hingga telepon selulerku luruh jatuh ke lantai berkeramik hitam di kamarku. Aku enggan memungutnya. Mengapa jawaban itu yang harus kudengar? Mengapa kau tak menyuruhku pulang dan mengajakku ke upacara sacral. Kita membaiatkan diri sebagai sepasang nini lan mintuno. Bukankah itu yang sering kita impikan bersama, Det? Ataukah kau telah lupa dengan mimpi-mimpi kita? Barangkali begitu. Aku hanya bisa mengutuki diriku sendiri.

Apa salah jika aku bersetubuh dengan orang yang kucintai dan mencintaiku? Berpuluh kali aku bertanya pada benda apa saja yang kutemui. Pada karang, pada laut, pada ombak, pada angin, matahari, bahkan pasir yang pernah kita lukisi dua hati, hatiku dan hatimu. Sering pertanyaan itu mendapatkan umpatan dari diriku sendiri. Aku baru sadar. Aku terdampar pada hutan rimba. Tersesat pada jalan-jalan setapak tanpa panah arah. Begitu banyak persimpangan. Dan aku kian terperosok karena tak mengenali medan pertempuran. Kukira aku akan terlindung di antara rimbunnya dedaunan dan lebat pepohonan. Kukira aku akan aman dari hiruk-pikuk kebisingan. Kukira dan kukira.

"Edan kamu, masih punya iman, kan?" bentak dedaunan hijau.

"Aku tak yakin dengan imanku. Darah yang mengaliriku adalah lumpur. Jadi kamu tahu tentunya. Bagaimanapun akau mengelak, aku tak dapat membebaskan diriku dari lingkaran lingkarnasi itu." Ujarku.

"Kamu pemuja apa, hah?" sahut ranting-ranting patah.

"Aku percaya dengan yang membuat hidup."

"Lalu, apa bentuk dan realisasi dari kepercayaanmu pada yang membuat hidup? Bukankah kamu sudah tahu dan melek jika zina itu dosa. Dosa!"

"Ya aku tahu, aku berharap karma itu tak membelitku kelak, setidaknya saat ini aku hanya bertanggung jawab pada diriku sendiri."

"Gila, jisin!" umpat dedaunan itu lagi.

Kata jisin yang berarti gila. Benar. Aku sudah gila barangkali. Mengedepankan rasioku tanpa memahami sebuah ketentuan. Ketentuan yang telah digarisbawahi oleh Gusti Kang Murbeng Dumadi. Aku terhenyak! Pergi ke sebuah ruang test. Bagaimana jika vonis itu adalah sebuah bombatis dan bla..bla..bla..? Mengapa pula aku mesti tidak sanggup bila mendapatkan keputusan itu? Bukankah aku mengagungkan cinta di atas segalanya? Apa yang mesti kurisaukan? Aku sangat munafik ternyata. Aku mulai takut dengan keputusan-keputusan dan sikap-sikap yang kuambil selama ini!

Jiwaku mulai menjauh, karena desakannya supaya aku menuntut Deto menikahiku tak kuhiraukan. Bagaimana aku menuntut dan memojokkan orang yang kucintai dengan sangat? Membuatmu risau dan gelisah saja aku sudah merasa sangat bersalah.

Hari-hariku mulai terasa panjang dan melelahkan. Terpenjara. Aku bagai bangkai hidup. Wajahku kian tirus, bibirku tak semerkah semangka, mataku tak sebinar bintang di langit, rambutku kian kusut. Pucat. Diantara jiwa dan perasaanku saling bergelut memperebutkan tempat. Pergi atau tetap bersama Deto? Pergi dengan konsekuensi aku harus sanggup membawa diri, bersama Deto dengan catatan aku harus terpenjara bersama laki-laki egois. Aku bertarung dengan waktu. Penentu kemenangan dan kekalahanku.

**&&**

Akhir Desember di Musim Dingin, kau datang. Kesempatan yang kutunggu dan sekaligus memuakkan. Aku telah mempersiapkan strategi. Aku siap kau hamili. Harus. Kau akan kujerat dengan cara itu. Kuusir dedaunan waru jauh-jauh. Biarlah aku menjadi sebatang dhebok, batang pohon pisang yang biasa kupergunakan berenang di sungai ketika aku masih kecil dulu. Tapi tanpa cinta, bisakah aku bersetubuh denganmu, Det? Jiwaku telah menjadi bekuan salju. Kukira kau akan terperanjat menyentuh kedinginanku. Atau semakin tertantang karenanya? Persetan dengan sikapmu. Rasaku sudah mati saat berhadapan denganmu. Aku hanya ingin membalas dendam. Berbulan perih menggunung dalam kawah hatiku.

"Kau tak hamil, kan?" tanyamu menyambut kahadiranku. Sisa senyum masih menyungging di kedua bibirku. Dalam pantulan cermin di ruangan kamarmu, jelas terlukis tatapan mataku bagai elang yang siap menikammu. Aku ngeri dengan pemandanganku sendiri.

"Untuk apa aku melahirkan anak untuk lelaki sepertimu?"

"Kau bunuh anak itu?" sahutmu.

"Tidak!"

"Lalu?"

Aku diam, enggan menjawabnya. Kalau perlu biar sekalian kau mati penasaran. Aku tahu, kau sangat menyukai anak-anak. Tapi untuk memberimu seorang anak, aku akan berpikir seribu tahun lagi. Secara biologis aku masih bisa berhadapan denganmu, bercakap, bertatapan. Tapi bukankah tubuhku telah membeku menjadi gumpalan salju, demikian juga rasaku, telah mati. Terkapar kaku sejak kau menghilang begitu saja, setelah lukisan di Musim Gugur itu menjadi sebuah keabadian cinta kita, sebab Musim Dingin berikutnya kian membekukan tulang-tulang sungsumku. Kau diam, menatap langit-langit kamar, menikmati batang demi batang rokokmu.

"Lalu?" ulangmu lagi. Karena pertanyaanmu menggantung pada bibirku.

Aku bertahan dengan kediaman. Bergumpal rindu dendam memenuhi rongga pernafasanku, hingga menyumbat setiap kata yang hendak kusampaikan. Andai kau tahu ketika itu? Bagaimana aku mengatasi keterputusasaan? Mengatasi hujatan-hujatan dari dalam jiwaku, hingga alam pun akhirnya lelah menghiburku. Aku hanya berteman dengan kesendirian, pada kesepian, dan kehampaan.

"Lara, jangan merasa beruntung kau?" hardik diriku sendiri, ketika aku pulang dari test, dan angka negative yang kuperoleh. Negatif.

"Ya, aku tahu!" jawabku tanpa ekspresi.

Entahlah, ini suatu bentuk peringatan dari-Nya, sebagai rasa saying-Nya padaku ataukah justru penghinaan? Mengapa bukan hasil positif, sebagai hukuman agar cambuk itu telak mengenai dasar pemikiranku selama ini? Salahkah aku bersetubuh dengan orang yang kucintai dan mencintaiku? Aku masih saja melenggang-kangkung dengan pertanyaan tolol itu.

Tatap matamu masih menawarkan cinta. Aku berusaha menepis setiap percikan api yang terselubung dalam gelembung asap rokokmu. Percikan itu bisa menghangatkan ruangan ini, dan gumpalan salju di tubuhku bisa saja leleh karenanya.

"Aku hanya ingin berucap sesuatu," kataku dengan suara datar tapi tegas. Kutata perasaan dan nafasku agar tidak saling berbenturan, supaya air mata ini tak berderai di lekukan wajahku.

"Apa?"

"Aku akan pergi!"

"Kemana?"

"Ke pengasingan."

"Apa? Bukankah pengasingan berarti sebuah pemenjaraan?"

"Di sana ada kesejatian cinta."

"Omong kosong!"

"I need your love, Baby!" pintamu menghiba.

Saat yang kutunggu. Benar kan, aku pasti mampu menyeretmu ke tengah samudra. Kusimpul senyum dalam rongga dada, agar kau tak melihatnya. Aku masih pantas berbangga diri, karena aku masih menjadi bidadarimu. Masih bertahta dalam istanamu. Tapi dari daun jendela yang terkuak, seribu suara seakan berhambur masuk memecahkan gendang telingaku.

"Kau tak ingat, bagaimana kau merangkak bangkit dari keterpurukan?

"Kau hendak mengkukuhkan diri sebagai wanita lacurkah?"

"Seberapa ketegaran kau miliki?"

"Bukan orang lain berkewajiban menyayangi dirimu, tapi dirimu sendirilah yang punya tanggung jawab."

Hembusan angin menamparku pada keterjagaan. Cinta yang mengerat dibilik jantungku hanyalah serpihan lara. Layakkah kugunakan untuk bersetubuh denganmu, Det? Tidakkah dari tatap mataku kau dapat merasakan bagaimana kelukaan ini menyisakan perih? Atau kau tak mau tahu?

Dengan diamku, kau hendak merengkuhku, kusambut dengan sebuah jawaban tegas. Plak¡K! Tangan kananku mendarat tepat di sebelah pipi kirimu. Campakkan mimpi dari gegarku, tingganggalkan semua keinginan. Betapapun bongkahan dendam ini mengeras, aku akan berusaha menjadikannya lunak. Dengan gerakan kilat, kuraih daun pintu. Pergi. Dan aku terjaga ke alam pada.

Kubiarkan angin membelai ragaku, tak kuhiraukan lidah ombak menjilati kaki telanjangku. Kutengadahkan wajah menantang terik. Tersungging bibirku menggapai cakrawala-Nya. Begitu luas tak berbatas. Tak terasa butiran air yang menganak sungai di tebing mataku, berguguran bagai daun luruh. Begitu perih karena cinta saling berebut, saling tindih. Serpihan cinta Deto dan kekukuhan cinta-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails