Astronomi, ilmu yang satu ini hampir setua peradaban manusia itu sendiri. Bagaimana tidak, ia lahir bersama dengan kekaguman dan keingintahuan manusia akan langit dan apa yang ada di sana.
Kekaguman yang melahirkan pencarian. Tidak masalah apakah pencarian itu kemudian berbuah pada sebuah hasil yang saintifik ataukah ia hanya berhenti pada kaitan budaya dan kehidupan manusia. Kekaguman itulah yang membawa manusia pada kemajuan astronomi melintasi batas budaya dan kepercayaan, berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang membawa manusia menjelajah alam semesta yang mungkin di masa lampau tidaklah pernah terbayangkan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Peradaban Awal Astronomi di Indonesia
Berabad-abad lampau ketika peradaban baru dimulai, catatan dan cerita turun temurun dalam budaya masyarakat sudah menunjukkan berbagai kisah rakyat yang terkait astronomi. Cerita-cerita dari langit ini memberi interpretasi tersendiri akan obyek langit yang mereka lihat. Sebagai contoh ada kisah Bulan Pejeng (Bali), Pasaggangan’ Laggo Samba Sulu atau Pertempuran Matahari dan Bulan (Mentawai), Memecah Matahari (Papua), Manarmakeri (Papua), Hala Na Godang (Batak), Kilip dan Putri Bulan (Dayak Benoaq), Lawaendrona Manusia Bulan (Nias), Bima Sakti (Jawa), Mula Rilingé’na Sangiang Serri’ (Bugis), Batara Kala, Nini Anteh (Jawa Barat).
Penamaan rasi bintang berdasarkan nama lokal menunjukkan, masyarakat Indonesia di masa lampau juga melakukan pengamatan langit. Dalam budaya Jawa, dikenal Gubug Penceng (Salib Selatan), Lintang Wulanjar Ngirim (rasi Centaurus), Joko Belek, Lintang Banyak Angrem, Bintang Layang – Layang, Lintang Pari, Lintang Kartika (Pleiades), Wuluh (Pleaides), Kalapa Doyong (Scorpio), Sapi Gumarang (Taurus), adalah contoh penamaan rasi bintang secara lokal di Indonesia, yang sekaligus menandai kegiatan astronomi amatir di tengah masyarakat di masa lalu.
Setiap interpretasi tidak sekedar memberi akan benda-benda langit, baik itu bulan, bintang, matahari, rasi bintang, Bima Sakti, namun juga kisah tentang proses terjadinya alam semesta. Benda-benda langit ini juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai penentu waktu bercocok tanam, sarana pemujaan, kalender, maupun navigasi.
Kehidupan agraris masyarakat Indonesia juga menjadikan benda-benda langit sebagai petunjuk musim menanam dan musim panen. Di Jawa, rasi Lintang Kartika diasosiasikan juga sebagai tujuh bidadari, yang direpresentasikan dalam tarian Bedhaya Ketawang di Keraton Mataram. Di wilayah Pantai Utara Jawa rasi ini digunakan untuk menandakan waktu (kalender) dalam penanggalan Jawa. Jika rasi ini sudah terbit sekitar 50° di langit, maka musim ketujuh (mangsa kapitu) pun dimulai. Pada musim ini, beras muda harus mulai ditanam di sawah.
Saat belum ada kalender, masyarakat setempat telah menggunakan perbintangan untuk menentukan siang dan malam, pasang surut air laut, berbunga dan berbuahnya tanaman, maupun migrasi dan pembiakan hewan. Bagi mereka gejala alam adalah cerminan lintasan waktu. Masyarakat di masa itu juga menentukan saat menanam dengan menggunakan bambu yang diisi air untuk mengukur ketinggian bintang. Pada posisi tertentu mereka akan bisa mengetahui apakah sudah saatnya memulai bercocok tanam atau belum.
Sedangkan masyarakat Maritim Indonesia, menjadikan obyek langit sebagai panduan navigasi dalam pelayaran. Salah satu kisah yang diyakini merupakan bagian dari penggunaan langit sebagai navigasi adalah ditemukannya peninggalan berupa puisi dan gambar-gambar perjalanan masyarakat dari Indonesia menuju Afrika Selatan.
Di tahun 800 Masehi, pembangunan candi Borobudur menjadi penanda lainnya keberadaan astronomi di Indonesia. Borobudur yang dibangun oleh wangsa Syailendra diduga merupakan penanda waktu raksasa di abad ke -8, dimana stupa utama candi berfungsi sebagai penanda waktu. Pembangunan candi seperti Borobudur memberi penegasan dan petunjuk kemampuan nenek moyang dalam astronomi.
Astronomi di masa Penjajahan
Kecintaan masyarakat Indonesia pada langit memang disampaikan kemudian secara turun temurun lewat berbagai kisah. Dan pencatatan pengamatan pada masa lampau memang “belum ditemukan”. Akan tetapi catatan yang menjadi penanda awal kebangkitan astronomi dan penggunaan instrumentasi dalam pengamatan dimulai di tahun 1761.
Pada abad ke-18, masalah terbesar dalam astronomi adalah penentuan jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari. Parameter astronomi yang satu ini merupakan konstantan fundamental dalam sistem heliosentris yang diajukan oleh Copernicus. Pada tahun 1716, Edmund Halley (Inggris), muncul dengan metode penentuan paralaks matahari yang mengacu pada 2 kejadian astronomi yakni transit Venus di tahun 1761 dan 1769. Dalam pemetaan yang diajukan, kepulauan Malaya adalah tempat terbaik untuk melihat transit tersebut dalam durasi yang panjang dimulai dari ingress sampai egress.
Setelah melalui kisah panjang siapa yang akan mengamati transit tersebut, pada akhirnya Gerrit de Haan kepala departemen pemetaan di Batavia dan Pieter Jan Soele (Kapten Kapal VOC) sebagai asisten mendatangi Johan Maurits Mohr (18 August 1716, Eppingen – 25 October 1775 ) seorang pastor yang juga seorang penerjemah untuk menterjemahkan peta pengamatan okultasi Venus dari Delisle yang menggunakan Bahasa Prancis. Pada tanggal 6 Juni 1761, ketiganya pun melakukan pengamatan transit Venus dan menerbitkan hasil pengamatan tersebut di tahun 1763. Publikasi lainnya tentang pengamatan Gerrit de Han, Pieter Jan Soele yang dibantu Mohr diterbitkan pada tahun 2004 dalam prosiding IAU dengan judul Observations of the 1761 and 1769 transits of Venus from Batavia (Dutch East Indies)
Setelah pengamatan transit Venus tersebut Mohr mulai dikenal sebagai seorang “astronom”, dan di tahun 1765, Pastor Mohr membangun sebuah observatorium pribadi di Batavia (Jakarta) dengan instrumen terbaik yang ada pada masanya, dan mulai melakukan pengamatan astronomi dan meteorologi. Diyakini observatorium pribadi Mohr itu berada di Gang Torong.
Tanggal 3 Juni 1769 Mohr melakukan pengamatan transit Venus dan transit Merkurius pada tanggal 10 November 1769. Dan di kisaran tahun 1770-an, kegiatan Mohr memberi inspirasi pada orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda untuk melakukan gerakan saintifik. Observatorium Mohr juga pernah dikunjungi Kapten James Cook dan Louis Antoine de Bougainville. Catatan pengamatan transit Venus dan Merkurius di tahun 1769 dipublikasikan dalam tulisan Transitus Veneris & Mercurii in Eorum Exitu e Disco Solis, 4to Mensis Junii & 10mo Novembris, 1769 di Philosphcal Transactions pada 1 Januari 1771.
Sayangnya observatorium Mohr tidak bertahan lama, hancur oleh gempa bumi dan tinggal puing-puing. Observatorium tersebut dihancurkan dan hanya tinggal nama di awal abad 19. Nama Mohr sendiri diabadikan sebagai nama planet kecil 5494 johanmohr yang ditemukan tahun 1933.
Observatorium Bosscha dan Pendidikan Astronomi di Indonesia
Para pecinta langit ini juga punya kiprah yang cukup signifikan, karena di awal tahun 1920-an, Nederlandsch-Indische Sterrekundige Vereeniging / NISV (Perhimpunan Astronom Hindia Belanda) yang merupakan gabungan intelektual astronom Belanda, ahli fisika mau pun para pecinta astronomi di Hindia Belanda, merasakan kebutuhan untuk mendirikan observatorium di Indonesia.
Observatorium ini bertujuan untuk menjadi garda depan pengamatan astronomi di langit selatan. Apalagi saat itu langit selatan memang belum dikenal karena hampir tidak ada pengamatan dilakukan di belahan selatan selain di Afrika Selatan.
Observatorium itulah yang kemudian dikenal sebagai Bosscha Sterrenwacht atau Observatorium Bosscha yang dibangun dari tahun 1923 – 1928. Pendana utama dari Observatorium Bosscha juga berasal dari kalangan pemerhati astronomi yakni seorang tuan tanah di Malabar bernama Karel Albert Rudolph Bosscha dan seorang pengusaha bernama Ursone. Keduanya kemudian menyerahkan hak kepemilikan tanah mereka kepada NISV.
Selain penyandang dana utama K A R Bosscha juga menyediakan teleskop refraktor ganda Zeiss dan teleskop refraktor Bamberg. Sebagai penghargaan nama Karel Bosscha diabadikan sebagai salah satu nama planetoid yakni (11431) Karelbosscha yang berada di antara Mars dan Jupiter dan ditemukan tahun 1971.
Setelah Bosscha didirikan, Dr. Joan Voûte kemudian menjadi direktur pertama di Observatorium tersebut. Voute dilahirkan di Madioen ini merupakan lulusan sipil di Delft yang kemudian karena kecintaannya pada astronomi justru mengabdikan hidupnya di astronomi dan melakukan berbagai pengamatan sebagai astronom profesional. Voute sebelumnya bekerja di Observatorium Cape berhasil menghitung jarak Proxima Centauri sama dengan Alpha Centauri di tahun 1913. Pada tahun 1919, Voute kemudian diminta ke Indonesia untuk menjadi kepala Observatorium Bosscha yang pertama.
Pada masa berkecamuknya Perang Dunia II kegiatan observasi di Bosscha sempat dihentikan dan tidak hanya itu, akibat dari perang menyebabkan hancurnya sebagian fasilitas Observatorium. Di tahun 1951, NISV menyerahkan Observatorium Bosscha kepada pemerintah RI, yang kemudian menjadi bagian dari Institut Teknologi Bandung di tahun 1959 setelah ITB didirikan.
Tahun 1951, juga menjadi tonggak berdirinya pendidikan astronomi secara resmi di Indonesia yang ditandai dengan dikukuhkannya G.B. van Albada sebagai Guru Besar Astronomi. Dan pendidikan Astronomi di Indonesia juga sampai saat ini masih bernaung di bawah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung.
Selain Observatorium Bosscha dan Astronomi ITB, pada tanggal 31 Mei 1962 dibentuk juga Panitia Astronautika dan kemudian pada tanggal 27 november 1963, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 236 Tahun 1963. LAPAN dalam perkembangannya bergerak dalam hal teknologi kedirgantaraan juga untuk pemanfaatan sains atmosfer, iklim dan antariksa.
Akhir tahun 2008, Observatorium Hilal dan Astronomi di Aceh yang dikelola oleh Badan hisab Rukyat selesai dibangun dan berfungsi sebagai situs pengamatan hilal di kawasan ujung barat Indonesia. Selain hilal, observatorium ini bertujuan untuk pengamatan ilmiah astronomi untuk kalangan pelajar dan mahasiswa serta berfungsi dalam hal pendidikan astronomi masyarakat Aceh.
Komunitas Astronomi dan Indonesia Masa Kini
Perkembangan pengenalan astronomi di Indonesia ternyata lebih banyak diberikan dalam pendidikan kepanduan atau Pramuka. Pengenalan rasi bintang dan navigasi langit menjadi point penting yang membawa siswa untuk mengenal lebih dekat langit dan isinya.
Di Indonesia, kelompok amatir yang menjadi wadah para pecinta astronomi memang belum ada sampai dengan era 80-an. Namun di era 1960-an, diyakini Santoso Nitisastro dari Observatorium Bosscha dan yang kemudian menjadi kepala Planetarium Jakarta pernah membuat kelompok untuk penyuka astronomi di Jakarta.
Tahun 1968 Planetarium Jakarta diresmikan dan menjadi mercusuar pengenalan astronomi kepada publik di ibukota negara Indonesia. Di tahun 2002 planetarium lainnya di Tenggarong dengan nama Planetarium Jagat Raya Tenggarong dibuka di Tenggarong Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.
Di tahun 1977, dibentuklah Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), tujuannya adalah untuk menampung keinginan astronomi di Indonesia termasuk di dalamnya astronom amatir sekaligus mendorong pengamatan astronomi oleh masyarakat. Dan untuk merealisasikan hal tersebut, sekretaris pertama HAI adalah seorang wartawan Pikiran Rakyat yang juga penyuka astronomi. Hal ini dimaksutkan agar informasi astronomi dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat. Keberadaan HAI juga menjadi kunci penting diterimanya Indonesia di IAU.
Di tahun 1983 saat fenomena gerhana matahari total melewati Indonesia, terjadi peningkatan minat masyarakat terhadap astronomi. Kala itu, Planetarium Jakarta mengadakan pengamatan Gerhana Matahari Total (GMT) 1983 dan dalam persiapannya ada salah satu anggota Pramuka yang sering ikut serta bernama Kak Har. Dan ternyata setelah pengamatan GMT berakhir, Kak Har dkk masih sering berkumpul dengan Pak Darsa untuk membicarakan persiapan pengamatan komet Halley di tahun 1985 / 1986. Maka akhirnya dibentuklah Himpunan Astronomi Amatir Jakarta di tahun 1984. HAAJ kemudian berkiprah untuk menampung para pecinta astronomi di Jakarta dan sekitarnya, serta melakukan pengamatan publik di sekolah-sekolah. Di Tahun 1989 HAAJ sempat vakum dan setelah Widya Sawitar masuk ke Planetarium Jakarta di tahun 1992, pada tahun 1994 HAAJ memulai kembali kegiatannya. Di tahun 2010, HAAJ kehilangan salah seorang motor penggeraknya yang juga mantan ketua HAAJ yakni Tersia Marsiano yang meninggal tanggal 6 Desember 2010.
Sampai hari ini terhitung HAAJ adalah kelompok astronomi amatir paling aktif yang ada di Indonesia. HAAJ juga membina kelompok KIR di sekolah-sekolah seperti FOSCA (Forum Of SCientist teenAgers), Kastro Sirius (SMAN 89), Kastro Polaris (SMAN 38), Kastro Lunar (SMAN 3 Bogor), KIR Orbit (SMAN 1 Bogor), Forum Pelajar Astronomi (FPA). Kelompok pecinta astronomi juga berkembang secara mandiri di sekolah-sekolah seperti di Sekolah Madania Bogor ataupun di SMA Negeri 1 Subang dll.
Di era-90an, mahasiswa Astronomi ITB sempat membentuk beberapa kelompok pecinta astronomi untuk mewadahi penggemar langit ini di Bandung seperti misalnya HAAB dan Zenith yang kemudian non aktif sampai saat ini. Di luar astronomi ITB, kelompok mahasiswa Fisika UPI juga membentuk himpunan pecinta astronomi bernama Cakrawala.
Di Indonesia saat ini selain kelompok astronomi yang sudah disebutkan masih ada beberapa klub astronomi di daerah yang berbasiskan klub daerah ataupun dari sekolah. Seperti halnya JAC dan CASA di Jogjakarta dan Solo yang aktif melakukan pengamatan untuk keperluan hilal maupun populerisasi di masyarakat. Selain itu ada juga Atjeh Astro Club yang terbentuk setelah observatorium Hilal di Aceh dibangun untuk keperluan pengamatan hilal di ujung barat Indonesia. Di Jawa Timur, beberapa anggota HAAJ juga merintis terbentuknya Asosiasi Astronomi Surabaya sedangkan para guru pembina astronomi di Bandung membentuk Forum Pembina Astronomi (FPA) yang bertujuan untuk berbagi ilmu pengetahuan dalam hal astronomi sebagai bahan ajar di sekolah.
Di dunia maya, kegiatan memperkenalkan astronomi dimulai oleh mailing list Astronomi Indonesia di tahun 2001 yang sampai saat ini sudah memiliki 984 peserta. Di tahun 2005, alumni astronomi yang juga ingin berbagi ilmu astronomi kepada pecinta astronomi di Indonesia mencoba membuat majalah astronomi namun sayangnya tidak berhasil.
Di tahun 2007, para penggagas majalah astronomi ini kemudian membangun langitselatan sebagai media edukasi dan informasi astronomi pada masyarakat. Media tersebut kemudian berkembang sebagai komunitas dunia maya yang juga melakukan berbagai kegiatan publik dan terlibat aktif sebagai kontak bagi beberapa komunitas astronom amatir di dunia seperti Astronomer Without Border dan Sidewalk Astronomer.
Perkembangan astronom amatir dalam berkiprah di dunia astronomi tidak bisa dipandang sebelah mata. Meskipun hanya sebagai hobi, para astronom amatir ini bisa juga memberi kontribusi dalam berbagai penemuan maupun kontribusi profesional layaknya profesional astronomi. Selain bagi pecinta astronomi yang membutuhkan wadah, kegiatan astronomi bagi siswa dan guru juga punya wadah tersendiri yakni di Global Hands on Universe dan Galileo Teacher Training Program yang bertujuan untuk memberika edukasi dasar bagi para guru mengenai astronomi dan alat-alat yang dipergunakan agar dapat diajarkan kepada siswa untuk kemudian dikembangkan sendiri maupun berkontribusi dalam penelitian sederhana.
Di masa depan, perkembangan astronomi di Indonesia akan membutuhkan kerjasama aktif antara astronom profesional dan astronom amatir untuk menghasilkan hasil ilmiah sekaligus edukasi aktif pada masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar