Komet Hartley 2 kini mulai meninggalkan kita untuk kembali berkelana menyusuri orbitnya menuju bagian tata surya yang dingin membekukan. Per 25 November 2010, komet dengan inti kecil berbentuk mirip paha ayam tersebut telah berada pada jarak 0,25 AU dari Bumi atau lebih dari dua kali lipat jarak terdekatnya terhadap Bumi pada 28 Oktober 2010 lalu. Saat ini magnitudo komet Hartley sekitar +6,4 sehingga mustahil untuk dilihat dengan mata telanjang dalam kondisi langit malam paling gelap sekalipun, meski masih memungkinkan diamati dengan bantuan teleskop.
Dunia kecil komet yang hiperaktif ini meninggalkan kesan mendalam yang memperkaya pengetahuan manusia mengenai dinamika komet dan pembentukan tata surya. Terbang lintas wahana antariksa Deep Impact dalam misi EPOXI ke dalam lingkungan atmosfer (coma) Hartley 2 menghasilkan banyak data yang mengejutkan tim astronom peneliti dibawah pimpinan Michael A’ Hearn. Deep Impact memperlihatkan secara gamblang bahwa air (H2O) dan karbondioksida (CO2) merupakan senyawa utama penyusun atmosfer Hartley 2, sebagaimana diamati instrumen HRI–IR (High Resolution Instrument Infrared Spectrometer). Yang menarik, bila emisi air sifatnya stabil sehingga grafiknya mendekati bentuk linier, emisi karbondioksida bervariasi secara periodik sehingga bentuk grafiknya sinusoidal. Dalam satu periode observasi (yakni 31 Oktober 2010) teramati kuantitas karbondioksida terbesar sempat mencapai empat kali lipat dibanding kuantitas karbondioksida terkecil.
Adanya variasi dalam kuantitas karbondioksida lebih diperjelas lagi tatkala Deep Impact kian mendekati inti komet Hartley 2. Pada 4 November 2010, dalam jarak hanya 44.000 km dari inti komet, Deep Impact menemukan bahwa air yang diemisikan dari permukaan inti komet hanya sepertiga dari kelimpahan karbondioksida. Selain itu distribusi air bersifat isotropik ke segala arah, suatu fenomena yang tidak asing karena juga ditemukan pada komet lain yang telah dikunjungi wahana antariksa. Namun sebaliknya, distribusi karbondioksida memperlihatkan anomali karena asimetris atau lebih dominan ke satu sisi saja dibanding yang lain. Hal ini mengejutkan para astronom karena baru kali ini fenomena tersebut teramati. Variasi kuantitas karbondioksida yang teramati nampaknya berhubungan erat dengan rotasi inti komet Hartley 2 sehingga bagian inti yang lebih banyak mengemisikan karbondioksida tidak selalu menghadap ke arah yang sama.
Para astronom lebih terkejut lagi saat menyadari distribusi debu dalam atmosfer Hartley 2 pun asimetri dengan pola yang sama dengan distribusi karbondioksida. Observasi pada waktu yang berbeda menunjukkan bahwa baik debu maupun karbondioksida berasal dari lokasi yang sama di permukaan inti komet. Hal ini menunjukkan bahwa karbondioksida–lah materi utama penyusun debu komet Hartley 2. Dengan kata lain karbondioksida, senyawa gampang menguap (volatil) yang sebelumnya berbentuk padatan dan tersimpan di balik kerak inti semenjak terbentuknya tata surya, tersublimasi oleh dinamika inti yang dihangatkan sinar Matahari saat komet Hartley 2 mendekati perihelionnya. Sehingga terbentuklah gas karbondioksida di dalam kerak komet yang lantas keluar melalui lubang (kawah) di permukaan sebagai aliran–aliran jet, proses yang mirip dengan semburan geyser di Bumi. Begitu sampai di atmosfer komet, proses sublimasi pun kembali terjadi yang mengubah uap karbondioksida menjadi butiran–butiran padat berukuran mikro sehingga atmosfer komet Hartley 2 bisa disebut sebagai awan es kering.
Dominasi karbondioksida dalam inti komet Hartley 2 membawa para astronom ke dalam pemikiran bahwa senyawa ini adalah bagian dari bahan–bahan penyusun tata surya. Bersama partikel debu dan butiran air (es), butiran karbondioksida tercampur baik membentuk kometisimal (bakal inti komet). Kecilnya kometisimal membuat proses diferensiasi kimiawi tidak terjadi, sehingga gumpalan kometisimal tidak berkembang dan bisa diibaratkan sebagai fosil dari masa awal tata surya. Sebaliknya, saat proses serupa membentuk gumpalan lebih besar berwujud planetisimal yang kemudian berkembang menjadi planet, diferensiasi kimiawi membuat unsur–unsur berat tenggelam ke inti planet sementara unsur–unsur ringan mengapung ke kerak dan selanjutnya terlepas dari permukaan untuk kemudian membentuk lapisan atmosfer. Mekanisme semacam ini mungkin menjadi jawaban mengapa planet seperti Venus dan Mars memiliki atmosfer yang sangat kaya karbondioksida. Pun demikian atmosfer Bumi purba, hanya saja revolusi bakteri milyaran tahun silam membuat karbondioksida dikonversi menjadi oksigen seperti yang dijumpai dalam atmosfer Bumi sekarang.
Emisi air dari permukaan inti komet Hartley 2 pun bukannya tanpa kejutan. Analis lebih lanjut terhadap permukaan inti komet dalam spektrum gelombang mikro dan inframerah serta peningkatan kontras citra memperlihatkan air yang disemburkan bersama aliran jet dari permukaan inti komet pun berbentuk butiran. Instrumen HRI–IR secara jelas memperlihatkan bahwa butiran–butiran air tersebut berukuran mikro, sehingga merupakan butiran salju. Seperti halnya salju di puncak pegunungan yang teramat tinggi di Bumi, salju di atmosfer komet Hartley pun demikian ringkih sehingga bisa dilumatkan dengan mudah dalam genggaman tangan, andai kita ada di sana. Namun salju ringkih ini juga bisa saling bergabung antar mereka, membentuk gumpalan lebih besar dengan diameter antara beberapa sentimeter hingga beberapa puluh sentimeter. Gumpalan terbesar diindikasikan seukuran bola basket. Secara keseluruhan butiran–butiran salju itu membentuk semacam awan salju dalam atmosfer komet Hartley 2 dengan diameter hingga beberapa puluh kilometer, meski ukuran pastinya belum diketahui.
Awan salju dalam atmosfer komet pun fenomena baru karena tak pernah teramati di komet lainnya, setidaknya pada empat komet sebelumnya yang dikunjungi wahana antariksa. Dengan nada bercanda, A’ Hearn mengatakan “…perhatikan komet Hartley 2 ! Ada badai salju di sana !” Eksistensi salju di komet memiliki potensi bahaya tersendiri yang harus diantisipasi dalam misi–misi antariksa mendatang yang ditujukan ke benda langit ini. Musababnya sederhana saja, ketika Deep Impact melakukan terbang lintas terhadap komet Hartley 2, wahana tersebut melesat secepat 12 km/detik (43.200 km/jam) relatif terhadap inti komet sehingga jika berada terlalu dekat dengan inti, butiran salju berpotensi menghantamnya dan merusakkannya. Keadaannya berbeda jika suatu wahana berniat mendarat di permukaan inti, sebab kecepatan relatif butir–butir salju terhadap inti hanyalah 0,9–1,7 meter/detik sehingga gangguan relatif tidak ada.
Kejutan berikutnya datang dari observasi radikal bebas sianogen (CN) atau di Bumi lebih dikenal sebagai sianida. Pada komet Hartley 2, kuantitas CN juga memperlihatkan anomali. Selama delapan hari di pertengahan bulan September 2010, Deep Impact mengamati kelimpahan CN meningkat lima kali lipat lebih besar dibanding awalnya. Namun pola peningkatan CN tidak menyamai pola variasi distribusi karbondioksida, sehingga apa yang menyebabkannya masih menjadi tanda tanya. Keberadaan sianida dalam komet sudah diketahui lebih dari seabad silam dan sempat menimbulkan kepanikan kecil ketika komet Halley mendekati Bumi pada tahun 1910. Ketika beredar kabar bahwa ekor komet Halley mengandung sianida, orang yang ketakutan akan pengaruh sianida (yang dikenal sebagai salah satu racun anorganik terkuat di Bumi) berbondong–bondong membeli pil komet dan topeng gas untuk mengantisipasinya. Ketakutan ini tak beralasan karena nyatanya kerapatan gas sianida dalam ekor komet jauh lebih kecil dibanding kerapatan gas–gas polutan lainnya dalam atmosfer Bumi.
Semua penemuan ini lebih memperkaya pengetahuan manusia akan dinamika komet. Dengan demikian salah satu kepingan kecil dalam teka–teki tata surya awal mulai terbuka. Di sisi lain, penemuan ini juga membuat manusia bisa menyiapkan strategi yang lebih baik dalam mengantisipasi bilamana ada komet yang hendak bertumbukan dengan Bumi. Skenario lama bahwa komet pengancam itu haruslah dihajar dengan hululedak termonuklir berkekuatan besar sehingga musnah sebelum mencapai Bumi musti dikesampingkan, mengingat dengan sifat inti komet yang demikian rapuh, hantaman berkekuatan besar justru akan memecahbelahkannya menjadi kepingan–kepingan lebih kecil namun tak kalah berbahayanya.
Referensi : NASA
0 komentar:
Posting Komentar